Welcome sobat! Terima kasih dah mampir di blogku. Kontribusi Anda berupa saran, kritik yang konstruktif sangat saya nantikan, karena saya masih belajar, belajar, dan belajar

7/06/2008

SKETSA HIDUP

Matahari belum sempat sibakan selimut malam. Hening masih hiasi salah satu putaran waktu yang dijadikan Allah sebagai pakaian itu. Pakaian setiap makhluk-Nya yang telah menapaki jalan kehidupan di siang hari.

Aku masih belum bisa mengenakan pakaian itu. Malamku masih siang. Aku masih asyik dengan setumpuk kertas laporan keuangan yang harus diserahkan besok. Bukan tak kasihan dengan mataku, bukan pula aku tega tak memberikan hak kepada mataku -hak untuk beristirahat-bukankah mata juga mempunyai hak. Aku tau itu dari Ustadz Firdaus pada suatu ceramahnya di masjid At Takwa. Beliau mengatakan bahwa baginda Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya mata kamu mempunyai hak.” Maha suci Allah, segala sesuatu diciptakan bukan saja dengan hikmahnya, tapi dibekali juga dengan hak masing-masing.

Dholim. Mungkin itu yang aku lakukan. Ya, seseorang yang tidak menyampaikan haknya kepada sang empu hak tersebut adalah dholim. Seperti kenyataan yang aku temukan sekarang, manusia lebih sering menuntut haknya daripada mengerjakan kewajiban. Hak dan kewajiban tidak berimbang.
Beberapa waktu yang lalu, di salah satu warung nasi aku menyimak berita di TV bahwa para guru melakukan demonstrasi di depan gedung kepresidenan menuntut kenaikan gaji. Mereka terpaksa meninggalkan anak-anaknya di sekolah. Dilematis sekali!

Kewajiban mengajar ditinggalkan, demi memperjuangkan hak. Hak memperoleh gaji yang sesuai. Ya, guru juga manusia. Mereka harus hidup, mereka harus menghidupi anak dan istrinya. Bagaimana bisa tenang mencerdaskan bangsa, kalau dalam mengajar juga masih memikirkan perut anak-anaknya.

“Kami menuntut kenaikan tunjangan, karena sudah tidak relevan lagi dengan harga-harga sekarang. Untuk mencari tambahan, kami mengojek,” kata koordinator demonstrasi dalam orasinya. Bulu kuduk berdiri mendengar kata terakhir dari orasi tersebut. “Kami mengojek....”

Subhanallah aku hanya bisa bertasbih. Ngeri rasanya membayangkan nasib guru tersebut. Bagaimana tidak, disaat muridnya pergi ke sekolah dengan Suzuki APV, Honda Yaris, Kuda dan mobil-mobil mewah -meski tak semua- gurunya datang dengan sepeda kumbang, motor bektu- motor bebek tahun 70-an- dimana guru tersebut?

Aku jadi terlibat dalam dialog dengan pak Usman, pemilik warung tersebut.

“Waduh, gimana nasib anak-anak atuh kalau gurunya pada demo,” celetuknya dengan logat khas Sunda.

“Maksud Bapak,” tanyaku
“Walaah...masa sampeyan gak ngerti. Coba sampeyan bayangkan, anak-anak ditinggalkan di sekolah untuk demo. Secara tidak langsung mengajarkan kepada anak-anak berdemo. Ntar sedikit-sedikit di sekolah anak-anak demo, ada ketidakpuasan dengan pihak sekolah, demo...kumaha nasib bangsa yang akan datang?”

Aku cuma mesem.

“Saya setuju dengan pendapat Bapak” kataku sambil mengangkat jempol.

“Wah...bagus itu. Emang semestinya sampeyan setuju,” hidung pak Umar seakan terbang.

“Tapi, pak. Kita tidak bisa menyalahkan guru yang melakukan demo begitu saja. Mereka itu juga kan manusia...”

“Wah sampeyan rupanya terpengaruh lagu rocker juga manusianya Serius, he...he...”

“Tapi benar, Pak. Mereka memiliki sifat-sifat kemanusiaan yang selalu tidak puas dengan apa yang sudah dimiliki. Semakin besar pemasukan, semakin besar pula pengeluaran. Hal itu bisa dipengaruhi oleh gaya hidup yang berubah. Karena merasa telah memiliki sandaran. Sandarannya ya...jabatan itu diantaranya,” tambahku.

“Semestinya hal ini harus dipikirkan pemerintah dengan seksama,” kata pak Umar sambil membereskan piring yang baru dicuci Bi Amin.

“Maksud Bapak?” tanyaku.

Aku paling suka mampir di warung ini, meski sederhana. Yang menjadi daya tarik warung ini adalah pemiliknya yang komunikatif. Pemikirannya tajam, meski cuma banyak mengandalkan logika, pendapat-pendapatnya subjektif. Tapi dia enak diajak diskusi. Meski, bagi sebagian orang pak Umar cerewet. Mungkin yang mereka maksud cerewet itu omongannya yang tak pernah berhenti.

“Ya, pemerintah berpikirlah untuk menaikan anggaran pendidikan, salah satu alokasinya untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Bukan untuk percobaan kurikulum saja,” tukasnya serius.

“Bapak ini pedagang nasi atau aktivis LSM,” godaku sambil mengambil pisang goreng dari piring.

“Eh...mas Ali jangan salah. Gini-gini juga Bapak mantan siswa teladan di SMP dulu. Meski tak sempat tamat,” katanya dengan mata berlinang.

***


Kalau kuingat obrolanku dengan Pak Umar aku jadi ingat nasib guru ngajiku di kampung. Aku yakin, bukan cuma guruku yang begitu. Tapi guru-guru ngaji yang lain nasibnya sama. Tak pernah diperhatikan. Ini yang lebih parah.

Menurutku mereka layak mendapat perhatian dan penghargaan. Mereka yang membekali anak-anak dengan ilmu-ilmu agama. Tanpa ilmu-ilmu agama, betapapun pintarnya orang pasti tak akan mampu memanfaatkan ilmunya. Pendidikan umum sekarang banyak mencetak generasi-generasi pintar namun tidak mengerti. Para koruptor contohnya. Mereka bukan orang bodoh, mereka pintar. Pintar memanfaatkan ilmunya untuk mencuri dengan cara yang apik. Sulit tersentuh hukum. Sulit ditemukan. Karena yang mencari yang menyembunyikan. Hah...kaya hidup di negeri Kabayan.

Berbeda dengan tetanggaku Sapnen, bisanya cuma mencuri ayam atau jemuran tetangga. Namun jangan salah, hadiahnya cukup besar. Dikeroyok orang, bahkan proses hukumnya juga lebih mudah; mudah diselesaikan, mudah dipenjarakan.

Kembali lagi ke nasib guru ngajiku. Menurutku dia harus mendapat perhatian juga. Sebab dia yang mengajarkan agama. Dunia tanpa agama buta. Ilmu agama akan menjadi self control setiap tindak tanduk seseorang. Tidak akan mudah terpengaruh oleh isme-isme. Makanya aku bilang mereka harus diperhatikan. Bagaimana kalau ilmu agama hilang, karena ustadz-ustadznya tak mau lagi mengajar, karena mereka khusyu mencari bagiannya di dunia.

“Carilah apa yang akan mendatangkan kehidupanmu di akhirat, tapi jangan lupa bagianmu di dunia,” kata Ustadz Sanusi pada suatu ceramahnya. Bagi muslim, ayat tersebut dijadikan dasar untuk mengais rizki di pelata bumi illahi. Seorang muslim tidak diperkenankan berpangku tangan, menanti rizki yang diturunkan Tuhan dari langit. Seorang muslim harus giat berusaha, mencari bagian dunia kita. Jangan sampai habis kikis dinikmati para kafir yang sedang menikmati surga dunia.

Meski seorang muslim dipernkenankan mencari dunia, tapi Islam mengingatkan umatnya agar tidak terlena dengan dunia. Para pemimpin yang korup, aktivis yang khianat merupakan contoh orang yang dilenakan dunia itu. Mereka lupa dengan tugas utama, yaitu menyejahterakan rakyat. Bukan ikhlas motivasi mereka mau jadi pemimpin.

Ah...bulshit dengan keikhlasan. Keikhlasan sekarang adalah kemunafikan, ketika keikhlasan bisa dibeli dengan segepok uang.

***

Aku kembali membereskan berkas-berkas laporan keuangan bulan ini. Besok siap dijilid. Adzan shubuh telah berkumandang. Aku segera bergegas mengambil air wudhu. Lalu pergi ke mushalla yang kebetulan tidak jauh dari kontrakanku.

“Sabar mata, ya! Habis shalat subuh, kau akan segera mendapatkan hakmu,” gumamku sambil menyambar sajadah yang menggantung di dinding kamar.

***

“Labbaikallâhumma labbaîk...labbaika lâsyarîkalakalabbaik....innalhamda wannikmata laka walmulk...lâ syarîkalak.....” aku terus mengucapkan kalimat talbiyah sambil memandangai bangunan berbentuk kubus itu.

Subhanalllah,” gumamku. “Betapa agungnya engkau ya Allah yang telah menjadikan bangunan ini dengan segala kemegahannya. Sampai umat Islam se-dunia menghadap kepadanya ketika hendak menghadap-Mu melalui shalat.”

Air mataku berlinang. Tak kuasa kurasakan berjuta rasa yang menggelora didadaku. Di rumah Allah ini aku merasa kekhusyuan luar biasa ketika shalat, aku merasa begitu dekat dengan Tuhan yang selama ini aku sembah. Yang lebih membahagiakan, aku bisa melaksanakan rukun Islam yang ke-5 bersama ibuku tercinta. Sayang, Bapakku telah lama pergi mendahului kami. Sejak kepergiannya, ibuku yang menjadi kepala keluarga. Aku kagum dengannya. Ibu begitu gigih berjuang menghidupi anak-anaknya. Bahkan sampai bisa menyekolahkan ketiga anaknya sampai Perguruan Tinggi. Orang lain meskipun orang tuanya lengkap dan dikaruniai kecukupan harta, tapi tidak mencicipi pendidikan tinggi. Aku sangat bersyukur dikaruniai ibu yang begitu mengagumkan. Makanya ketika aku sudah mempunyai pekerjaan disalah satu perusahaan swasta, aku bertekad untuk mengajak ibuku menyempurnakan rukun Islam. Aku ingin mengajaknya ke tanah suci. Urusan jodoh, entar aja. Yang penting aku bisa menunaikan ibadah haji dengan Ibu.

“Labbaikallâhumma labbaîk...labbaika lâsyarîkalakalabbaik....innalhamda wannikmata laka wal...Ibu....,” Aku tidak sempat menyelesaikan kalimat talbiyahku ketika aku mendapatkan sesosok tubuh wanita yang lemas terkulai. Suasana menjadi ramai. Imran segera memanggil kepala regu kami. Tidak lama kemudian ia datang bersama tim medis dan membawa ibuku ke klinik. Beruntung, ibu hanya kelelahan.

Diantara alunan kalimat talbiyah samara-sama aku mendengar namaku dipanggil orang, “Fikri...fik...bangun sudah hampir jam sembilan!” Semakin lama suara itu semakin keras. Ternyata itu suara Hasan-tetanggaku. Dan aku terbangun dari tidurku. Kulihat jam tanganku sambil mengusap mata, subhanallah sudah jam 08.45. Aku harus segera ke kantor. Laporan keuangan ditunggu jam sembilan oleh pimpinan. Langsung kusambar handuk, lalu pergi ke kamar mandi.

Selama mandi aku tidak berhenti memikirkan mimpiku yang kulihat begitu nyata. “Sayang, hanya mimpi,” pikirku sambil membuka tutup pasta gigi.

Mimpiku mungkin dipengaruhi oleh ilusiku yang selama ini terus menghantui selaksa pikirku. Aku ingin menunaikan ibadah haji dengan ibuku. Keinginan ini aku pendam sejak aku masih kuliah. Ketika itu aku berpikir tak mungkin, karena jalan hidupku saja belum jelas. “Darimana dapat uang?” pikirku suatu ketika.

***

Aku segera mengambil berkas-berkas laporan yang akan diserahkan ke pimpinan. “Wah udah telat, nih,” gumamku.

Segera kutinggalkan kontrakanku. Rumah seluas 8 x 9 meter ini aku kontrak tiga bulan yang lalu setelah aku diangkat jadi staff administrasi yang mengurusi bagian keuangan. Pertama kali aku bekerja sebagai office boy (OB). Karena aku dinilai punya dedikasi yang tinggi pada perusahaan, dan kebetulan aku bisa mengoperasikan computer, akhirnya aku menempati pekerjaan sekarang. Tentu aku sangat bersyukur kepada Allah, sebab pada hakikatnya Allah tidak ingin aku bekerja sebagai OB.

Ke kantor, aku biasa naik angkot karena belum punya alat transportasi sendiri. Ketika angkot yang aku tumpangi berhenti di lampu merah, tiba-tiba tiga anak menghampiri angkot yang aku tumpangi. Mereka langsung menyanyikan lagu entah lagu apa karena tidak jelas liriknya. Hatiku teriris menyaksikan pemandangan ini. Bayangkan saja, anak-anak yang mestinya pagi itu berangkat ke sekolah malah ramai berburu rupiah di jalan raya yang sangat berbahaya bagi keselamatan hidupnya.

Aku terperanjat ketika tiba-tiba di depan mataku ada tangan kurus kering diulurkan dengan plastik yang berisi beberapa keping uang recehan. Aku langsung mendapatkan uang 5 ribu rupiah dari saku bajuku. “Makasih oom,” kata anak tersebut sambil manggut.

“Dul, cepat kesini,” seseorang memanggil anak itu.

Anak itu tampak ketakutan. Kulihat dia termenung sebentar. Tiba-tiba anak itu lari terbirit-birit.

“Hei, mau kemana kau anak sialan,” suara yang tadi memanggil anak itu. Seorang lelaki bertubuh tinggi mengejar anak laki-laki yang baru berusia sekitar 6 tahun itu.

Lampu hijau menyala. Saat itu pula sopir angkot tancap gas. Sayang, aku tidak bisa menyaksikan nasuib anak itu.

“Nampaknya ia korban eksploitasi anak yang selama ini marak diberitakan media,” pikirku menjawab kepenasaranku. Ia bekerja untuk orang lain. Bagiannya, paling cuma dikasih makan. Hatiku tersayat perih…membayangkan nasib anak tadi.

Ya Allah, beruntung benar nasibku. Sampai aku duduk di bangku kuliah, aku tidak pernah memikirkan keuangan karena semua tinggal memberitahu ibu jika aku butuh uang. Semua telah ibu persiapkan. Tapi anak ini, untuk makan aja harus berjuang pertaruhkan nyawa dan masa depannya. Inikah masa depan yang sedang mereka ukir?

Bagaimana nasib negara kita kedepan, aku kuatir. Sebab, generasi penerusnya saja kaya gini. Tak berpendidikan, sejak kecil hidup dalam kerasnya hidup. Akankah mereka tumbuh menjadi sosok yang keras juga?

“Mereka harus diselamatkan,” pikirku.

Mereka korban eksploitasi anak. Mau tidak mau harus segera dicari jalan untuk mengeluarkan mereka dari jerat nestapa. Menyelamatkan mereka berarti menyelamatkan bangsa.

“Kasihan banget nasib mereka, ya,” kata seorang lelaki yang duduk di sampingku sambil membenarkan posisi duduknya.

Aku senang ada yang mengajak bicara. Dari tadi aku bicara sendiri dalam hati.

“Iya, seharusnya mereka sekolah,” jawabku.

“Seharusnya masalah ini dipikirkan pemerintah jalan keluarnya, sebab masalah ini menyangkut martabat bangsa,” balas lelaki itu yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Ajid.

“Kalau saya dikaruniai rizki saya ingin menampung, menyekolahkan dan mendidik mereka sampai mereka mempunyai kesanggupan untuk hidup mandiri,” jawabku.

“Ah...itu mah omongan yang belum punya aja. Dari dulu saya sering dengar orang berkata persis dengan yang kamu katakan, tapi setelah mereka mendapatkan apa yang diandaikannya itu mereka lupa, dech,” katanya lagi seolah mencibir niat tulusku.

Aku tidak bisa menyalahkan Pak Ajid yang menganggap ringan tekadku itu. Mungkin Pak Ajid benar dan dia berbicara berdasarkan kenyataan yang ia temukan. Aku sendiri sering menemukan orang yang berjanji, “Kalau anu, maka saya akan anu...anu dan anu...,” meski kenyataannya setelah anu itu mereka lupa anu-anu yang telah diucapkannya.

Tiba-tiba aku jadi ingat tujuanku. “Jl. Cut Nyak Dien, bang,” aku minta sopir angkot agar berhenti di tempat aku kerja.

“Wah...udah kelewat, Pak?” jawab sopir itu.

“Apa?” teriakku kaget.

“Iya, jalan Cut Nyak Dien telah kelewat sekitar dua kiloan,” jawabnya santai seolah tak memikirkanku yang serba salah.

“Ya udah turun disini aja,” pintaku.

Subhanallah, kok aku bisa lupa begini, mana laporan sedang ditunggu lagi. “Makanya kalau lagi mengerjakan sesuatu, pikiranmu harus fokus, jangan kemana-mana, Fikriyya,” aku bicara sendiri dalam hati. Laporanku???

“Astagfirullah al adhim.”

6/25/2008

DENTING HATI

DENTING HATI

Laailahaillallaah ………
Walaahaula walaaquwata
Illaa billah...
Kesunyian kian menyergap kalbu yang pilu
Nurani yang tersakiti
Seakan tak bisa menyembunyikan luka diri
Kebahagiaan tak dapat menghapus duka lara
Kini aku seolah karam dalam nestapa
Ingin ku berteriak…..
Namun tak seorang pun yang mengerti sedihku
Semakin kumengadu
Semakin kutahu
Kalau hidup tak sekedar berpangku

Medan Juang, 14/1/2008



KETIKA….
Ketika jalan takdir tak seiring dengan asa
Ketika kenyataan tak seindah harapan
Ketika keadaan tak ada dalam dekapan
Ketika takdir, kenyataan dan keadaan memaksa
tuk diterima…!!!
Hidup memang penuh kejutan
Semua yang telah terjadi, sedang terjadi
dan akan terjadi tak pernah terbayangkan sebelumnya
Tanpa keinginan dan rencana semuanya terjadi
Menghiasi hari dan memori yang akhirnya menjadi
sebuah kenangan
Kehidupan haruslah terus berjalan
dengan bingkai, warna dan gambar yang tak pernah
diduga-dua.

Padang juang, 1 Des 2007

00:48:19



SAJAK PAGI, SIANG, SORE DAN MALAM

Pagi hari ….
Sang surya menyinari..
Meluluh lantahkan bumi….
Yang semakin keladi….
Siang hari…
Teriknya perih tak terperi
Menyayat kulit para kuli
Yang memeras keringat hanay untuk sesuap nasi
Sore hari….
Cahayanya meredup bersembunyi
Memangil bulan sang raja malam sunyi
Dan mengajak manusia bersandng kembali
Malam hari….
Tersa seram ,dingin,dan sepi..
Menciptakn kegelisahn di setiap hati
Mungkinkan ini terakjhir kali…..
Untuku menatap megahnya ciptan ilahi



GELORA JIWA
Aku pilu dalam sendu
Ada getar tak menentu
menari dalam hati
Ada gelora
mengalir tak bertepi
Ada lirih
mendayu tak bergema
Ada raga
meronta tak berjiwa
Seolah semua hambar tak berasa
Kalbu terasa pilu
Hati seakan mati
Raga seolah tiada….



SEULAS SENYUM SANG RAJA SIANG

Datang dengan sejuta pesona
memancarkan kemilau yang menyayat mata
diirngi nyanyian syahdu penguasa pagi
yang mampu menawan hati
Perlahan merangkak menemui terang
meminta gelap berpulang
melukis tawa riang setiap orang
mengukir harap cemerlang
menuju petang

30/01/08


SEIKAT BUNGA ASA

Seikat bunga asa
penuh daun keyakinan
menghempaskan angin keraguan
menebang pohon keuputusasaan
mengundang semerbak wewangian…
kebahagiaan adalah harapan
tapi ketika kenyataan tak seindah harapan?
tegar dan bersabarlah


RAGA

Raga yang meronta
meminta jiwa menemani
dalam asa yang semakin melukis
indahnya mimpi
Raga ini
Kini subur
bertabur butiran kasih
Berbasuh lirih nyanyian angin sorga
Dalam belaian lembut mega
Disini, raga menunggu kabar dari langit
Bilakah jiwa menjiwai
Bilakah raja hati merajai
Bilakah ia menemani
Bersama, merajut dunia
Bersama, meniti mimpi
Menggapai ridha illahi…

11/02/2008


LIRIH ANGIN

Pelan…
Kudengar lirih angin menggelitik,
seolah bersenandung rindu
Pelan…
Kudengar hembusan awan berbisik,
seakan berirama merdu
Ingin kubermain dengan angina
Terbang mengelilingi taman mimpi…
Ingin kubermain dengan awan
Berkejaran tanpa henti
Melukis asa bersama dalam nyata
Menyambut akhir yang bahagia

24-Feb-2008


AKU...?

Aku…..?
Angin… sampaikan resahku pada matahari,
Hujan….nyanyian rintikku pada bumi
Asap hembuskan pekatku pada awan
Malam…terangiku menjemput angan
Aku?
Masih disini..bersama hati berpeluk asa.

2-Maret-2008


BERI AKU…

Beri aku tongkat tuk berdiri
tulangku terlalu rapuh tuk menopang
hujan ini semakin lebat,
tak kuasa ku menahan sesak
yang tak ku mengerti
Beri aku cahaya…
Aku ingin raga ini terang tanpa baying gelap..
Aku butuh …

3-Maret-2008


MATAHARI ITU

Matahari itu perlahan tenggelam
bersama cahaya menjemput malam bertabur bintang
Bintang-bintang melantunkan gita penuh cinta
Dambakan uluran tangan Tuhan
Wujudkan sekerat impian di negeri kenyataan.


AKU INGIN TETAP DISINI

Kututup mata
Mencoba menyelami gejolak yang kurasa
Semakin ku menutup
Semakin kumenyadari kebodohan diri
Astagfirullah…
Aku lupa akan rahmat-Nya
Aku ingin disini
Bersama cahaya cinta-Nya

4/03/2008

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons