Welcome sobat! Terima kasih dah mampir di blogku. Kontribusi Anda berupa saran, kritik yang konstruktif sangat saya nantikan, karena saya masih belajar, belajar, dan belajar

3/09/2009

Kuliah, kuli....ah???

Kuliah, atau kuli…ah??? Pertanyaan itu sempat muncul di kepala saya. Jujur, dulu saya tidak menganggap penting kuliah. “Yang penting mah kuliah,”pikirku. Kuliah (baca pake jeda di “li”) menghasilkan uang, sedangkan kuliah (tanpa jeda) menghabiskan uang. Jangan salahkan saya berpikiran begitu, karena saya berasal dari golongan biasa-biasa saja yang butuh uang untuk cara saya hidup. Curhat dulu dikit, ah…

Saya dibesarkan oleh seorang ibu yang sekaligus menjalankan tugas ayah. Ayah saya meninggal pada saat usia saya baru 3,5 tahun. Sampai sekarang, beliau masih tegar bagai batu karang dengan kesendiriannya. Saudara saya ada 2. Kini kedua-duanya sudah menikah. Tinggal saya nih yang belum, baru mau, hehehe......

Kusampaikan dulu kekagumanku pada ibuku yang sabar mengurus 3 anak sampai menyekolahkan ke jenjang yang lumayan tinggi. Beliau begitu semangat menyekolahkan anaknya. Prinsip beliau, “Ibu tidak bisa mewariskan harta, tapi ibu ingin mewariskan ilmu. Ibu tidak bisa mewariskan ilmu secara langsung, makanya belajarlah kalian sampai batas ibu mampu membiayainya.“ Tekad yang sangat luar biasa. Dan itu beliau realisasikan. Aku tau tidak setiap kesempatan uang ada, tapi ketika kita butuh mesti ada.

Kalau berbicara tentang Ibu, rasanya tidak akan ada habisnya. Yang ingin saya tulis sekarang sebenarnya bukan tentang ibu tapi tentang kuliah. Apa kaitannya dengan ibu? Ketika saya berpikir kuliah tidak perlu sebenarnya bukan karena benar-benar saya yakin akan kurangnya urgensi kuliah. Tidak. Saya berpikir seperti itu karena saya beranggapan siapa yang akan membiayai? Kasihan orang tua, dari dulu terus berkorban, sedangkan saya belum bisa menghasilkan uang untuk sekedar membiayai kuliah saya. Itu masalahnya, oleh karenanya saya tunda dulu kuliah, meskipun pada akhirnya saya kuliah tetap kembali ke orang tua dalam masalah biaya. Jadi kenapa tidak dari dulu saja, ya?

Saya rasa tidak perlu disesali. Toh yang sudah lewat tidak akan pernah kembali. Yang penting sekarang adalah bagaimana saya bisa kuliah dengan benar, bisa membanggakan orang tua (ibu).

Kuliah dengan benar ? Apa standar kebenaran kuliah tersebut?

Standarnya sederhana saja, bagi saya. Standar ini dibuat sendiri, tidak mengacu pada standar orang lain. Bagi saya kuliah yang benar adalah bagaimana saya bisa mengikuti setiap perkuliahan dan tidak hanya sekedar mengikuti. Tidak hanya sekedar bertemu dosen, tanda tangan, duduk dan keluar nilai. Bukan itu.
Kuliah adalah bagaimana cakrawala kita terbuka dan dibiarkan sayap-saya pemikiran terbang menelusuri setiap sudut kehidupan ini. Biarkan kita mencari kebenaran dan jangan biasakan mencari pembenaran. Namanya juga dunia akademis, identik dengan pemikiran yang kritis, cerdas dan mencerdaskan.

Lucu sekali jika mahasiswa belajarnya seperti di SD yang buta warna. Kata guru merah, kata kita merah; kata guru putih, kata kita putih.
Lingkungan akademis menempatkan civitas akademika dalam ruangan demokratis. Cirinya yang paling sederhana adalah adanya kebebasan berpendapat. Kebebasan ini tentunya jangan menjadi sebuah kebebasan yang kebablasan. Tapi sayang, tidak semua civitas akademika menyadari itu. Ada mahasiswa yang begitu takut menyatakan pendapat, akhirnya ngedumel di belakang, sebaliknya ada pula dosen yang sentimen, cepat naik pitam ketika ada mahasiswa yang berbicara. Inikah nuansa akademis????

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan posting komentar Anda. Semoga kita bisa menjalin silaturrahmi

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons