Welcome sobat! Terima kasih dah mampir di blogku. Kontribusi Anda berupa saran, kritik yang konstruktif sangat saya nantikan, karena saya masih belajar, belajar, dan belajar

8/24/2009

Wait and See, Pi!!!

"Ya Allah, Engkau mengetahui apa yang diberitakan dan dirahasiakan hati. Berilah hamba petunjuk, jalan mana yang harus ditempuh"

Dunia ini penuh dengan perhiasan. Begitu indah, begitu mempesona; begitu baik begitu menarin. Hanya saja mata ini tidak bisa melihat sampai ke dalam. Karena-mungkin- di dalam tidak seindah di luar. Begitu hebat kemampuan manusia mengemas, sehingga mata kadang tertipu. Yang baik dikatakan jelek, atau sebaliknya.

Satu-satunya jalan yang bisa kulakukan adalah memohon pertolngan-Nya. Aku yakin, di mata Allah semua jelas. Allah tidak mungkin tertipu oleh makhluk-Nya.

Aku bingung memilih kebaikan mana yang harus kupilih? Karena begitu banyak kebaikan di dunia ini-kebaikan dengan segala kemasan dan komposisinya. Aku takut salah memilih, karena kebaikan yang dulu pernah aku perjuangkan, kini seolah sia-sia. Ya, aku yakin di hadapan Allah tidak sia-sia, karena dulu -perasaan- aku melakukannya denga niat karena Allah, bukan karena emosi atau karena pengaruh situasi.

Dan, kini keikhlasan itu mulai memudar. Memang semestinya tidak, kalau aku benar-benar memperjuangkan sesuatu itu karena mengharap keridhaan Allah, bukan keridhaan manusia. Ya, aku sadar.

Konsekwensi harus aku terima. Seandainya teman-temanku -yang dulu sempat berdebat denganku dan aku begitu ngotot membantahnya- menertawakanku menyaksikanku menemukan realita yang berbalik dengan argumen yang aku lontarkan kepada mereka ketika itu. Ya, aku terima semua. Aku terima sebagai suatu pelajaran bagiku. Kalau yang lain menyalahkan apa yang dulu aku lakukan, aku tetap membenarkan, karena dari itu aku mendapat pelajaran.

Aku masih ingat betapa ngototnya aku menempis rumor yang menyebar ketika itu. Aku meyankinkan orang lain, memotivasi orang lain, dan kini semua sirna oleh orang lain.

I can just wait and see right now..

8/19/2009

Wanita-wanita Tuna Susula

Wanita-wanita tuna susula
Berpakaian tembus pandang
Kobarkan api Adam tuk menerjang
menyerang….
Pasrahkan diri terkekang
Oleh belenggu tali kutang-kutang

Wanita-wanita tuna susula
Mendebu
Umpama debu-debu jalanan
Manusia mana terhindarkan

Debu-debu itu
Akankah menjadi jentik-jentik dosa
Jika aku juga [terpaksa] menikmatinya???

Umpama najis
Dalam milyaran debu yang bertebaran
Dimaafkan Tuhan…

7/06/2009

Kala Senja Menyapa

Tiada terasa
Kini senja tlah menyapa
Menghantar mentari menyambut kelam
Bunga tiada berseri, melihatku bersemayam

Setumpuk rindu mengharu biru
Seonggok harap dilalap rayap
Hanyalah sesal yang tersisa
Tak berbekal dimasa muda

Ketika senja menyapa
Adakah kau punya kata?
Tuk bersilat lidah menghadapi
dakwaan Jaksa Tuhan

6/10/2009

MENIKAH, KENAPA TAKUT???

Suatu ketika, saya mengunjungi dakwatuna.com. Saya menemukan artikel yang bagus sekali, semoga bisa dibaca oleh orang tua sebagai pemegang hak merestui, dan anak-anaknya sebagai pemegang hak menikah. Saya kutip utuh dari sumbernya

MENIKAH, KENAPA TAKUT?
Dr. Amir Faishol Fath

Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?

Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.

Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.

Menikah itu Fitrah

Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)

Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.

Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.

Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.

Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.

Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.

Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.

Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”

Menikah Itu Ibadah

Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)

Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah.

Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.

Pernikahan dan Penghasilan

Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?

Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.

Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.

Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.

Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.

Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).

Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)

Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.

Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.

Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.

Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.

Pernikahan dan Menuntut Ilmu

Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.

Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.

Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.

Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.

Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.

Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.

Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.

6/08/2009

percobaan

Mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba, aku tak akan pernah tahu. jarrib walaahidz takun aarifan.

Ganti Lagi

Hari ini, aku ganti template lagi. Tak segaja, ketika aku lewat di suatu blog, lupa 'ga di tulis alamat blognya, aku tertarik dengan templatenya. Lantas aku klik link designernya. Dan, aku dapatkan template yang ini.

Kalau dihitung lebih sering ganti template dari pada posting tulisan. Maklum, setiap ada resep baru, aku coba; setiap nemu template baru selalu tertarik tuk masang di blogku; atau setiap nemu tips baru tentang ngeblog, aku coba juga. Tapi sayang ga pernah diingat. Jadi kaya lagu 'lupa-lupa ingat' kuburan band, cuma kalau mereka masih ada yang ingat, aku lupa terus ga pernah ingat, hehe...

Mengapa aku begitu? Tiada bukan karena aku menjadikan blog sebagai ruangku. Di blog aku rekam segala rasa, cara, pikir juga 'dzikir'. Oleh karena itu, blogku perlu nyaman, biar aku nyaman pula mengisinya.

Gonta-ganti template salah satu caraku. Sebenarnya ingin buat sendiri sesuai keingina, sayang, aku tak mahir mendesain. Tau blog aja dari internet, ga pernah ada yang ngenalin. Makanya, aku cuma make template dan hiasannya punya orang, tapi yang dipublish secara free and dijamin legal.

Setelah ini, pake template apalagi ya...

umum

tes

agama

tes

pengetahuan

pengetahuan

curhat

tes

artikel sastra

tes

5/19/2009

welcomeback!!

welcomback to blog. maaf ya blogku, lama engkau kutinggalkan..

3/09/2009

Kuliah, kuli....ah???

Kuliah, atau kuli…ah??? Pertanyaan itu sempat muncul di kepala saya. Jujur, dulu saya tidak menganggap penting kuliah. “Yang penting mah kuliah,”pikirku. Kuliah (baca pake jeda di “li”) menghasilkan uang, sedangkan kuliah (tanpa jeda) menghabiskan uang. Jangan salahkan saya berpikiran begitu, karena saya berasal dari golongan biasa-biasa saja yang butuh uang untuk cara saya hidup. Curhat dulu dikit, ah…

Saya dibesarkan oleh seorang ibu yang sekaligus menjalankan tugas ayah. Ayah saya meninggal pada saat usia saya baru 3,5 tahun. Sampai sekarang, beliau masih tegar bagai batu karang dengan kesendiriannya. Saudara saya ada 2. Kini kedua-duanya sudah menikah. Tinggal saya nih yang belum, baru mau, hehehe......

Kusampaikan dulu kekagumanku pada ibuku yang sabar mengurus 3 anak sampai menyekolahkan ke jenjang yang lumayan tinggi. Beliau begitu semangat menyekolahkan anaknya. Prinsip beliau, “Ibu tidak bisa mewariskan harta, tapi ibu ingin mewariskan ilmu. Ibu tidak bisa mewariskan ilmu secara langsung, makanya belajarlah kalian sampai batas ibu mampu membiayainya.“ Tekad yang sangat luar biasa. Dan itu beliau realisasikan. Aku tau tidak setiap kesempatan uang ada, tapi ketika kita butuh mesti ada.

Kalau berbicara tentang Ibu, rasanya tidak akan ada habisnya. Yang ingin saya tulis sekarang sebenarnya bukan tentang ibu tapi tentang kuliah. Apa kaitannya dengan ibu? Ketika saya berpikir kuliah tidak perlu sebenarnya bukan karena benar-benar saya yakin akan kurangnya urgensi kuliah. Tidak. Saya berpikir seperti itu karena saya beranggapan siapa yang akan membiayai? Kasihan orang tua, dari dulu terus berkorban, sedangkan saya belum bisa menghasilkan uang untuk sekedar membiayai kuliah saya. Itu masalahnya, oleh karenanya saya tunda dulu kuliah, meskipun pada akhirnya saya kuliah tetap kembali ke orang tua dalam masalah biaya. Jadi kenapa tidak dari dulu saja, ya?

Saya rasa tidak perlu disesali. Toh yang sudah lewat tidak akan pernah kembali. Yang penting sekarang adalah bagaimana saya bisa kuliah dengan benar, bisa membanggakan orang tua (ibu).

Kuliah dengan benar ? Apa standar kebenaran kuliah tersebut?

Standarnya sederhana saja, bagi saya. Standar ini dibuat sendiri, tidak mengacu pada standar orang lain. Bagi saya kuliah yang benar adalah bagaimana saya bisa mengikuti setiap perkuliahan dan tidak hanya sekedar mengikuti. Tidak hanya sekedar bertemu dosen, tanda tangan, duduk dan keluar nilai. Bukan itu.
Kuliah adalah bagaimana cakrawala kita terbuka dan dibiarkan sayap-saya pemikiran terbang menelusuri setiap sudut kehidupan ini. Biarkan kita mencari kebenaran dan jangan biasakan mencari pembenaran. Namanya juga dunia akademis, identik dengan pemikiran yang kritis, cerdas dan mencerdaskan.

Lucu sekali jika mahasiswa belajarnya seperti di SD yang buta warna. Kata guru merah, kata kita merah; kata guru putih, kata kita putih.
Lingkungan akademis menempatkan civitas akademika dalam ruangan demokratis. Cirinya yang paling sederhana adalah adanya kebebasan berpendapat. Kebebasan ini tentunya jangan menjadi sebuah kebebasan yang kebablasan. Tapi sayang, tidak semua civitas akademika menyadari itu. Ada mahasiswa yang begitu takut menyatakan pendapat, akhirnya ngedumel di belakang, sebaliknya ada pula dosen yang sentimen, cepat naik pitam ketika ada mahasiswa yang berbicara. Inikah nuansa akademis????

Bukan Caleg

Foto-foto berikut bukan caleg. Dijamin ga bakal ada di surat suara 9 April mendatang....



Bukan Si Bolang 2







seru bangeeeet.....

Bukan Si Bolang

Ini, foto-foto 'hikingku'yang kesekian kalinya. Hiking tersebut dilaksanakan dalam rangka ngisi waktu libur. Gratis tapi 'subhanallah' sangat menyenangkan. Meski hobi berpetualang tapi aku "bukan si Bolang"










Bukan Kutubuku



Difoto di depan tumpukan buku bukan berarti aku kutu buku,bukan pula raksasa buku. Tau kan bedanya kutu buku dan raksasa buku. Kalau kutu makannya sedikit, raksasa makannya banyak. So, tafsirkan aja sendiri, hehe.... Tapi, moga aja buku2 itu selalu mengingatkanku akan urgensi 'baca'.

Rapat 'ga Rapat Asal Makan



Aduhh...da 'ga konsen nulis nich, soalnya di depan nasi dan bakar ikan manggil2 terus minta segera dibantai....Makan dulu atau rapat dulu???? Kalau aku milih makan dulu ^_^

Bukan Pendekar



Pemuda bertongkat di atas bukanlah seorang pendekar layaknya Wiro Sableng, bukan pula pendekar (pendek dan kekar); pendeknya ia, kekarnya tidak, jadi tetap aja bukan pendekar. Ha...ha..ha........


No comment ^_^

Bukan Bukit Tursina





Waduhhhhh.....cukup melelahkan. Hari itu, tanggal sekian, bulan sekian (lupa...) aku coba taklukan bukit tapi bukan bukit Tursina ^_^.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons